Yelp resmi menyatakan pihaknya menolak pinangan Google. Tawaran Google senilai USD500 juta atau setara dengan Rp4,7 triliun rupanya tidak meluluhkan hati Yelp untuk menyetujui kesepakatan akuisi.

Setelah pekan lalu melakukan diskusi secara intens, Yelp yang merupakan situs bisnis lokal pada akhirnya memutuskan untuk menolak tawaran dari raksasa internet tersebut.

Perusahaan yang berpusat di San Francisco, California itu memberitahukan Google bahwa tawaran akuisisi tak lagi menarik minat mereka. Keduanya menutup mulut rapat-rapat mengenai penyebab tidak tercapainya kesepakatan.

"Yelp tidak bersedia berkomentar dalam kerangka diskusi privat," tulis juru bicara Yelp Stephanie Ichinose melalui email.

Pihak Google yang diwakili Andrew Pederson pun memperlihatkan sikap yang sama dan tak bersedia memberikan komentar soal penolakan yang diterimanya.

"Meski kami selalu berbicara ke berbagai perusahaan mengenai beragam hal, kami tidak akan bersedia mengomentari rumor atau spekulasi," kata Pederson seperti dikutip dari News Factor.

USD500 juta bukanlah angka yang besar bagi perusahaan sebesar Google. Dari uang sejumlah itu, Google bisa meraup untung lebih besar lagi dengan merangkul pengguna yang lebih spesifik , terutama membidik para pelaku bisnis lokal.

Sementara itu model bisnis Yelp telah diakui sukses dan layanannya pun kian meluas. Yelp merupakan situs yang mengulas bisnis dan menghubungkan pengguna internet dengan berbagai bisnis lokal. Yelp memungkinkan para pemilik bisnis merancang akun dan memposting foto secara gratis dan menawarkan suatu produk atau mengirim pesan pada konsumen potensial.

Yelp disebut-sebut bisa membantu Google mendapuk banyak keuntungan dari pasar periklanan lokal. Dengan membeli Yelp, sama artinya dengan Google memiliki salah satu situs populer yang menyimpan berbagai informasi bisnis.

Sejak diluncurkan pada 2004 Yelp telah meraup keuntungan sebesar USD30 juta atau Rp 284,4 miliar setiap tahunnya. Jumlah anggota Yelp yang disebut Yelpers hingga bulan November silam tercatat sekira 26 juta orang.



Tahukah anda bahwa kecerdasan bisa saja diolah setelah anda lahir, artinya bukan bawaan dari lahir, selain konsentrasi, meditasi maupun belajar hipnotis, kecerdasan bisa terlatih dengan mempunyai sifat keibuan.

Beruntunglah bagi mereka yang punya sifat keibuan. Meski belum menjadi ibu, wanita yang punya sifat lemah lembut dan penyayang layaknya seorang ibu bisa menghasilkan sel-sel saraf baru di otaknya yang mungkin akan membuatnya lebih cerdas. Demikian hasil studi para peneliti.

Setidaknya itulah hasil studi yang diiungkapkan oleh peneliti dari Tufts University"s Cummings School of Veterinary Medicine, London. Meski studi ini baru dilakukan pada tikus, namun otak tikus yang dianalogikan sebagai otak manusia itu terbukti mengalami pertumbuhan sel-sel baru ketika melakukan aktivitas seorang ibu.

Dalam studinya, tikus yang belum pernah melahirkan diberi seekor hewan peliharaan untuk membangkitkan rasa keibuannya. Tikus-tikus itu dirangsang untuk bisa berperilaku seperti seorang ibu diantaranya melindungi piaraan menggunakan tubuhnya hingga mengantarnya tidur di sarangnya. Dari hasil scan otak tikus selama studi berlangsung, terjadi peningkatan jumlah sel-sel saraf di otak tikus.

Studi sebelumnya pernah menyebutkan bahwa hewan pengerat yang sedang menyusui (laktasi) mengalami peningkatan formasi sel saraf pada otaknya. Namun studi ini adalah studi pertama yang menunjukkan manfaat sifat keibuan pada makhluk hidup yang belum memiliki anak.

Peneliti memfokuskan penelitian pada bagian otak subventricular, yaitu bagian otak yang memproduksi sel-sel yang berhubungan dengan pengenalan bau dan sifat-sifat keibuan. Tikus betina dewasa yang bersikap keibuan dilaporkan lebih banyak memiliki sel-sel saraf pada bagian otak tersebut daripada tikus yang tidak pernah berhubungan dengan anak-anak.

Meski demikian peneliti masih belum tahu penyebab peningkatan produksi sel-sel otak pada tikus. Namun peneliti menduga hal itu disebabkan oleh hormon prolaktin yang menstimulasi perilaku keibuan dan pembentukan formasi sel saraf di otak. Semakin sering berhubungan dengan anak-anak maka produksi sel saraf di otak akan semakin meningkat.

"Studi ini menunjukkan bahwa memiliki sifat keibuan adalah sebuah keuntungan dan anugerah. Terbukti dengan berperilaku seperti seorang ibu, sel-sel baru akan tumbuh pada otak dan bukan tidak mungkin akan membuat seseorang lebih cerdas. Beruntunglah mereka yang akan dan sudah menjadi seorang ibu," kata sang peneliti, Robert Bridges seperti dilansir dari Livescience.

Studi ini dipublikasikan dalam Journal Brain Research Bulletin dan didanai oleh National Institutes of Health grant.


Luna Maya, artis cantik (setidaknya lebih cantik dibandingkan ketika nenek-nenek nanti), tinggi (setidaknya dibandingkan Ariel ”Peterpan”), yang selama ini menjadi menu utama infotainment (setidaknya kegiatan sebagai penyanyi, presenter, artis sinetron, gosipnya), minggu ini diberitakan lebih sering lagi (setidaknya dalam seminggu ini diberitakan sebanyak 37 kali, dengan durasi tayang setiap hari mencapai tujuh jam, belum media cetak dan online).

Artinya secara teori komunikasi, para penonton televisi dianggap mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya. Mungkin juga membicarakan. Yang terjadi adalah perang (mungkin bisa disebut ”perang saudara”), dengan pekerja infotainment yang merasa dicemarkan namanya, karena dalam akun Twitter-nya Luna menyebut mereka sebagai (atau lebih hina dari) pelacur, pembunuh. Mereka ini mengadu ke Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Jakarta, yang melalui badan hukum yang menempel di situ mengadu ke Polda Metro Jaya. Timbullah akibat yang meluas.

Organisasi wartawan yang lain, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menilai pekerja infotainment bukanlah wartawan, jadi tak perlu dibela oleh PWI, serta kurang afdal dengan penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik. Dewan Pers mengingatkan kembali akan pasal-pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang menjadi ironis karena hanya akan merugikan kebebasan pers dan atau kebebasan berpendapat.

Begitu memasuki ranah hukum, senyum tak bisa dikulum. Harap maklum, silang pendapat dan pembelaan diri makin mewarnai, dan sempurnalah sudah tahap demi tahap reality show televisi, dengan berbagai benturan. Baik ketersinggungan, salah paham, dalam baju egoisme. Benarkah menjadi begitu? Benar, demikianlah adanya. Haruskah menjadi begini? Tidak, kalau ada sikap mawas diri.

Newstainment

Sejak awal saya agak risi dengan istilah infotainment, karena bisa berarti kependekan info dan entertainment, atau informan dan entertainment. Mungkin lebih pas istilah yang digunakan newstainmentâ€" karena news, berita, selalu memerlukan data, juga fakta, sebelum mengonfirmasikan. Tidak bisa begitu saja bertanya kepada artis yang matanya indah dengan pertanyaan: ”Anda katanya bisa di-booking? Bagaimana komentar Anda?” Kecuali si penanya memiliki data dan atau fakta bahwa sang artis memang mudah dibookingâ€" istilah bisa dipesan untuk dikencani. Ini memang contoh yang agak kelewatan dan perlu diluruskan. Tapi menggeneralisasi semua wartawan infotainment berperilaku seperti itu, tentu keliru dan tidak bijak. Sebagaimana profesi yang lain, selalu ada yang reseh, menjengkelkan, dan tak jelas apa maunya. Ini harus dimaklumi bahwa industri infotainment belum lama hadir, belum memiliki tradisi yang baik dan benar. (Setidaknya dibandingkan dengan industri media cetak, atau industri televisi).

Dengan demikian, jalan keluarnya bukan membandingkan dengan pelacur (pelacur juga ada yang bersyukur), atau mengemohi kehadirannya, melainkan mengajak duduk bersama dan membicarakan tata krama yang sebaiknya. Ini bukan tugas Luna, melainkan industri yang melahirkan dan mempekerjakan mereka atau organisasi yang terbaik. Tidak terlalu sulit mempelajari dasar-dasar jurnalistik gaya begini, sekurangnya mendalami dan meyakini mana yang ”do” (boleh) dan mana yang ”don’t” ( tidak boleh). Juga tak terlalu susah untuk mempraktikkan di lapangan.

Bukan karena apa, melainkan karena hubungan artis dengan wartawan infotainment sudah seperti saudaraâ€"dibentuk oleh sejarah, karena kebutuhan yang sama tergantung satu dengan yang lain. Bahwa bisa mudah tergesek menjadi love (cinta) dan hate (benci), ya memang begitulah hubungan yang terjalin erat dan dekat. Sebagai permusuhan kedua pihak, seperti halnya permusuhan persaudaraan, bisa menguak yang selama ini menjadi rahasia berdua. Luna Maya tidak sendirian karena Desy Ratnasari pernah mengalami, seperti halnya pada zamannya artis sekaliber Emilia Contessa (bahkan diboikot atau disuruh mengundurkan diri alias nonaktif), atau juga Yenny Rachman.

Kadang dalam nyinyir sebagai orang yang sudah uzur, saya ingin memberi nasihat bagi para artis. Contohlah bagaimana artis Titiek Puspa (dari skandal menteri, rumah terbakar, suaminya, lagunya) mengatasi gelombang pasang yang menghantam kariernya. Atau juga Rima Melati (soal rumah tangga, kanker payudara, kecerewetannya antirokok, usahanya, anak dan menantu), yang mengatasi semua ini tetap dengan senyum, segar, dengan wartawan-wartawan yang ”begundil” itu. Baik ”tante” Titiek maupun ”tante” Rima adalah sosok yang tegak, tegar, dengan banyak persoalan yang serentak sekaligusâ€"bukan satu soal kawin cerai atau murka.

Good News Sajalah

Yang tidak menarik dari kasus Luna-tainment adalah dengan serta-merta membelah ke persoalan siapa membela dengan siapa mencela, siapa wartawan siapa bukan, organisasi kewartawanan yang tak tahu peran atau yang kebablasan, dan segala kejengkelan yang tidak memberi jalan keluar.

Padahal menurut saya bisa lebih sederhana. Kalau Luna Maya merasa wartawan kelewatan, tinggal mengatakan kelewatan sejauh mana, sebagaimana juga dia meminta maaf karena tulisannya (yang bisa disangkal bukan dia yang menuliskan atau sedang puyeng karena mulai masa haid). Sementara dari pihak wartawan yang tergabung atau sendirian (Dewan Pers membolehkan wartawan tak punya induk organisasi, peraturan yang ada lain lagi) perlu mawas diri, untuk bersama belajar dalam lokakarya tentang hal-hal yang elementer yang terlupakan, karena buru-buru ditugaskan di lapangan.

Dengan demikian masing-masing bisa menjelaskan dan dijelaskan persoalan yang sebenarnya dan bisa saling mengetahui apa kurangnya. Hal yang sama bagi PWI Jaya, misalnya, bahwa ada tugas melindungi dan meneruskan keluhan yang bernaung di dalamnya (meskipun tidak selalu berarti membawa masalah ke kepolisian). Atau juga dari AJI, bahwa kehadirannya bukan menjadi pembela Luna dan berseberangan dengan PWI, melainkan bertitik berat pada pasal ”pencemaran nama baik”, yang ternyata digunakan untuk maksud tidak baik dan tidak proporsional.

Kejelasan sikap masing-masing pihak akan membuat enak, juga tak usah berlama-lama. Apalah susahnya duduk bersama (atau berdiri juga nggak apa-apa), menjabat tangan (berangkulan pun mulai nyaman), saling memaafkan, dan menyudahi untuk kali ini. Menurut saya ini jauh lebih baik, lebih good news, lebih irit waktu dan duit dibanding beperkara, atau menipu diri (bahwa dirinya lebih benar dan pasti menang). Ada jalan keluar yang lebih indah, lebih sejuk, dan tak merugikan siapasiapa. Malah dijamin mendewasakan.

Kalau ini yang terjadi, kasus Luna-tainment bisa menjadi contoh, bahwa ternyata perdamaian itu juga bagian dari jalan keluar, bahwa berita bagus juga merupakan berita yang hangat (bukan hangus), bahwa kedua pihak masih akan saling membutuhkan. Lebih dari ini semua, masih banyak masalah dunia hiburan yang memerlukan kebersamaan, kekompakan, untuk masuk ke jagat industri yang sesungguhnya. Apa seeeeh susahnya mengalah pada diri sendiri? Peace, man… Damai di hati.(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan 

Opini Okezone 22 Desember 2009

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/