KANDANG KAMBING LAUTAN ASMARA, Anda pernah nonton CD porno "Bandung lautan asmara"? Itu kuno, di Semarang ada yang lebih baru: "Kandang kambing lautan asmara". Tapi yang terakhir ini bukan dalam CD, tapi adegan spontan Mbah Karjan, 60, yang kebelet menyetubuhi gadis tetangga di kandang kambing!

Tambah tua mestinya seorang lelaki tambah arif. Hal-hal yang bersifat duniawi mulai dikesampingkan. Perbanyak kegiatan mencari pahala, dan tinggalkan urusan paha. Sebab urusan satu ini, jika diperturutkan takkan ada habisnya. Yang ini sudah mulus, tapi pasti ada yang lebih mulus lagi. Begitu banyak keterbatasan manusia, sehingga takkan mungkin bisa mengimbangi. Seperti dunia komputerlah, setelah Pentium-4, kini muncul Centrino, dan entah apa lagi nanti.

Ini yang tak disadari oleh Mbah Karjan, dari Pandean Lamper Kecamatan Gayamsari, Semarang. Usia sudah pas 12 pelita, tapi nafsunya akan dunia perempuan tak juga surut, tetap rosa-rosa macam Mbah Maridjan. Bagi dia, usia boleh menua sesuai kodratnya, tapi urusan yang satu itu tetap gagah perkasa. "Tampang memang Pepabri, tapi semangat saya masih Akabri kok….," katanya tanpa malu-malu.

Kelewat enerjik Mbah Karjan ini, sehingga dia suka berkhayal yang enggak-enggak. Misalnya, bagaimana caranya bisa menyetubuhi si Nita, 18, gadis tetangga sendiri yang penampilannya kelewat menthel (genit). Memang, putri tetangga sebelah tersebut kelewat bebas bergaul dengan orang sekitarnya. Maksudnya, dia tak punya batasan ketika berkomunikasi dengan para orang tua. Pada Mbah Karjan misalnya, tanpa rasa sungkan suka goblag-gablog (pukulan sayang), bahkan minta uang segala. Padahal jelas kakek ini bukan famili dekatnya.

Angan-angan nakal dan tak masuk akal ini ternyata belum lama ini benar-benar diterapkan. Kala Mbah Karjan sedang tidur siang, tiba-tiba Nita gedor-gedor pintu minta duit untuk sangu ke sekolahnya di SMA. Kontan niat iseng si kakek muncul. Dengan isyarat jari tangan Mbah Karjan siap memberi uang Rp 50.000, asal Nita mau dijak begituan. Ee, ternyata gadis itu malah menjawab "siapa takut" dan terjadilah hubungan mesum itu kali pertama! Edan nggak, modal Rp 50.000,- Mbah Karjan berhasil mbelah duren jatohan.

Hawa nafsu siembah tertunaikan sudah. Tapi sial, praktek kotor itu kemudian ketahuan warga. Gegerlah penduduk Pandean Lamper. Keluarga Nita tak terima kegadisan putrinya di-"download" situa bangka. Mbah Karjan hampir saja dilaporkan ke polisi. Untung berkat lobi-lobi politik anak istrinya, keluarga Nita bisa dijinakkan lewat uang tutup mulut Rp 1 juta. "Aja dibaleni ya mbah, ngisin-isini (jangan diulangi ya mbah, bikin malu saja)," kata anak-anaknya.

Sadarkah kemudian Mbah Karjan akan perilakunya yang nyasar dan tuwa tuwas ( percuma jadi orangtua) tersebut? Ternyata tidak, sebab Nita sendiri selalu memberikan rangsangan dan pancingan. Maka beberapa hari lalu, untuk kedua kalinya Mbah Karjan berhasil menyetubuhi si gadis tetangga. Ironisnya, lokasi bukan di ranjang nan empuk, melainkan kandang kambing disaksikan para kambing dan ditingkah bau cemendhil (kotoran kambing). Mbeeek, mbeeeek, mbek; begitu kira-kira komentar sikambing jika bisa bicara.

Apes lagi! Ulah Mbah Karjan kali ini kepergok istri sendiri. Untuk kedua kalinya warga dibikin gempar. Tak ada lagi uang tutup mulut, sehingga kisah "Kandang kambing lautan asmara" itu diteruskan ke Polsek Sidodadi. Dalam pemeriksaan Mbah Karjan berterus terang bahwa Nita memang perempuan geleman (mau diajak mesum). "Timbang nyukani dhuwit nganggur, nggih kula cucuk-cucukke (daripada memberi uang gratisan, ya dimanfaatkan benar)," kata Mbah Karjan tanpa malu-malu.



Syeikh Ali Jum’ah: Haram Gunakan Nada Dering Al-Quran

Kaum Muslim sebaiknya diminta mengganti nada dering Al-Quran atau adzan dengan lagu religi atau nada dering lain

Mufti Besar Mesir, Syeikh Dr. Ali Jum’ah, pemimpin institusi keagamaan tertinggi Mesir mencela penggunaan ringtone (nada dering) Al-Quran, doa atau adzan melalui handpone. Menurutnya, penggunaan nada dering seperti itu menyepelekan wahyu Allah SWT.

Sebagai respon atas tren penggunakan ayat-ayat Al-Quran atau doa sebagai nada dering panggilan telepon seluler di kalangan Muslim, Syeikh Ali Jum’ah mengatakan praktek semacam itu telah "melanggar kesucian kata-kata ilahi". Pernyataan Ali Jum'ah disampaikan Hari Rabu kemarin sebagaimana dikutip situs berita Arab, Al Arabiya.

"Firman Allah adalah hal yang suci. Allah menyuruh kami menghormati dan mengagungkan Nya, kata Jum’ah.

Menurut Ali Jum’ah, kaum Muslim diwajibkan menunaikan shalat lima kali dalam sehari. Dan salah satu tanda diwajibkannya memulai shalat adalah panggilan adzan dari masjid.

"Panggilan adzhan adalah pengumuman dimulainya shalat, memakainya sebagai ringtone adalah membingungkan dan menyesatkan," katanya.

Sebagai bentuk penghormatan terhadap kesucian Al-Quran, Ali Jum’ah, meminta kaum Muslim mengganti nada dering Al-Quran atau doa dengan nada dering lain, atau lagu-lagu bernuansa religius. Ali Jum’ah mengeluarkan fatwa ini berhubungan dengan banyaknya pertanyaan seputar hukum nada dering A-Quran, ujar Al Arabiya.

Sebelum ini, sebagaimana diberitakan harian Asyarqul Awsath, sejumlah ulama Al-Azhar yang tergabung dalam Badan Kajian Islam (Majmaul Buhuts Islamiyah) juga telah mengeluarkan fatwa bahwa mempergunakan ayat suci Al-Quran untuk nada dering. Menurut Majamaul Buhuts Islamiyah, sebuah lembaga fatwa ternama Mesir, penggunaan nada dering semacam itu hukumnya haram karena tidak mengindahkan kemuliaan Al-Quran.

Fatwa yang dikeluarkan pada sidang terakhir dan dipimpin langsung Syeikh Al-Azhar Dr Mohamed Sayed Tantawi itu berdasarkan atas permohonan Dr Mustafa Al-Shak’ah, anggota badan tersebut. Menurut fatwa itu, haram menggunakan ayat-ayat Al-Quran untuk nada dering ponsel karena bisa mengarah pada pemotongan ayat sebelum ayat berakhir dan meniadakan kemuliaan Al-Quran. Al Azhar juga pernah menghimbau perusahaan Telecom Mesir untuk memulai menghilangkan penggunaan ayat-ayat Al-Quran untuk nada dering.

"Sangat disesalkan apa yang kita amati akhir-akhir ini perusahaan-perusahaan telekomunikasi menjual nada dering Al- Quran yang semata-mata tujuan komersial. Padahal tidak pantas untuk kesucian Al-Quran," kata Shak’ah. Syeikh Mahmoud Ashour, anggota lembaga tersebut yang juga mantan wakil Syaikul Azhar juga menimpali.

Selain Majmaul Buhuts, lembaga fatwa seperti Dar al-Iftah, Mesir juga telah mengeluarkan fatwa larangan yang sama.

Sumber : http://www.hidayatullah.com/berita/internasional/10484-2010-01-23-22-57-49.html



Sebagai wirausahawan, Gigin Mardiansyah memang baru berusia 26 tahun. Namun, pria muda ini telah meraih omzet mencapai Rp 1 miliar per tahun dari hasil boneka Horta yang dipasarkannya bersama kawan-kawannya.

Boneka Horta ini tampil dengan beragam rupa. Ada yang berbentuk kura-kura, sapi, babi, panda, ataupun boneka berbentuk kepala manusia. Berbeda dengan boneka lain, boneka Horta bisa dibilang seperti tanaman. Jika setiap hari disiram dengan rajin, di bagian atasnya akan tumbuh rumput.

Lantas, kenapa diberi nama Horta?

Saat ditemui di sela-sela Expo Wirausaha Mandiri, Gigin menjelaskan, kata Horta sebetulnya adalah singkatan dari hortikultura. "Dulu kan saya kuliah di Program Studi Hortikultura IPB (Institut Pertanian Bogor)," ujar dia yang kini telah lulus dari IPB.

Ide awal pembuatan boneka Horta ini sebetulnya dari dosen IPB, Dr Ni Made Armini Wiendy, yang ingin membuat media edukasi buat anak-anak supaya mengenal tanaman sejak dini. Kemudian, Gigin dan keenam rekannya tertarik untuk membuat boneka karena dinilai tepat dan menarik untuk menjadi media edukasi bagi anak-anak.

Gigin akhirnya mengajukan proposal ke Dirjen Pendidikan Tinggi melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). "Alhamdulillah proposalnya diterima dan kami mendapatkan dana untuk pengembangan usaha Rp 4,75 juta. Jadi, itulah modal awal kami," kisah dia. Gigin pun memulai memproduksi boneka Horta.

Boneka ini bisa ditumbuhi rumput karena terbuat dari bahan utama serbuk kayu yang diperoleh dari limbah industri lainnya. Bahan lainnya, kata Gigin, adalah benih rumput, arang sekam, pupuk, stocking, dan aksesori boneka seperti mata, pita-pita, dan kancing.

"Benihnya kami sebar di sekitar kepala. Bahannya kami peroleh di sekitar Bogor saja, kecuali benih rumput yang harus kami datangkan dari Amerika," kata Gigin. Pasalnya, benih rumput lokal hingga kini masih sulit diperoleh. Karena itu pula, kini Gigin dan teman-temannya terus mengadakan penelitian mengenai benih rumput lokal. Dalam setahun, Gigin setidaknya mengimpor benih rumput sekitar 1 ton dari Amerika.

Kini, produknya sudah dipasarkan hampir di seluruh Indonesia. Pesanan dari berbagai perusahaan pun semakin membanjir. Boneka Horta juga bisa dibeli langsung di kiosnya, Jalan Babakan Tengah, Darmaga, Bogor. Boneka ini dipasarkan mulai harga Rp 20.000.

"Kami kasih garansi kalau enggak tumbuh bisa dikembalikan ke kami, bisa kami tukar dengan yang baru," kata Gigin.



Sudah saatnya aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap para Bonek yang bertindak anarkis. Sikap permisif yang selama ini diterapkan Polri telah 'menumbuhkan rasa aman' di kalangan kelompok pendukung kesebelasan Persebaya itu untuk berbuat anarkis.

"Karena selama ini dibiarkan, mereka makin menjadi karena yakin tidak akan kena hukum. Harusnya sikat saja kalau ada Bonek yang melempar atau memukul," ujar Andrianus Meliala kepada detikcom, Sabtu (23/1/2010).

Krimonolog dari Universitas Indonesia (UI) menyadari, Polri bersikap permisif selama ini demi mencegah munculnya ekses negatif dari sebuah tindak penegakan hukum. Bisa saja anggota lain Bonek akan beringas ketika melihat temannya ditangkap polisi belum lagi kemunculan reaksi bersifat primordial yang menyerang citra Polri.

Tetapi bagaimana pun, jajaran Polri harus berani bertindak keras dan tegas. "Memang awalnya pasti akan sangat berat, tapi 'biayanya' lebih murah bila dibanding terus membiarkan para Bonek berbuat anarkis," tegas Meliala.

Fenomena hooliganisme di Inggris bisa dijadikan contoh. Sikap tegas polisi Inggris yang mendapatkan dukungan politik dari Pemerintah Inggris dan seluruh negara anggota Uni Eropa, secara efektif telah mengikis kebiasaan berbuat anarkis kelompok pendukung kesebelasan sepak bola.

"Itu juga bukan pekerjaan seminggu jadi, tapi kontinyu dan konsisten selama bertahun-tahun. Kalau ada yang dikenai hukum dan itu konsekwen, maka Bonek yang lain juga akan mikir kalau mau anarkis. Hukum tidak boleh kalah dari civil society yang negatif ini," pungkasnya.

Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/01/23/165838/1284575/10/kriminolog-sikat-saja-bonek-yang-anarkis?991101605


Antasari Azhar, Wiliardi Wizar, dan Sigit Haryo Wibisono dituntut hukuman mati oleh jaksa dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Ketiganya dinilai menjadi aktor intelektual pembunuhan secara berencana terhadap direktur PT Putra Rajawali Banjaran itu. Tuntutan hukuman mati tersebut mendatangkan kontroversi. Pihak-pihak yang merasakan tersakiti akibat kematian korban pasti menyetujui tuntutan hukuman itu. Sebaliknya, pihak-pihak lain yang tidak setuju dan bahkan menganggap tuntutan tersebut terlalu ambisius dan berlebihan secara otomatis menolaknya.

Persoalannya ialah apakah penerapan hukuman mati pantas dijalankan dalam negara yang menganut demokrasi? Jika demokrasi dipandang sebagai pemerintahan yang dijalankan rakyat, sejauh rakyat masih menyetujui penerapan hukuman itu, dengan sendirinya mencabut nyawa pelaku kejahatan berat atas nama tertib sosial masih harus dijalankan. Sebaliknya, apabila rakyat tidak lagi menyetujui hukuman mati, hukuman itu harus dihentikan dengan becermin pada kehendak rakyat.

Ironisnya, jajak pendapat atau referendum terhadap hukuman mati belum pernah dijalankan. Hukuman mati lebih banyak dibicarakan dan diputuskan kalangan elite politik dan komunitas penegak hukum, misalnya para akademisi yang dianggap memiliki kompetensi pada ranah ilmu hukum, elite politik yang mempunyai klaim mewakili suara rakyat, dan kalangan aparat hukum dari institusi negara. Suara rakyat untuk menentukan hukuman mati menjelma sebagai kekuatan mayoritas yang bisu.

Dalam perspektif filosofis, hukuman mati tidak relevan dilakukan. Pendapat tersebut merujuk pemikiran Michel Foucault (1926-1984) yang menyatakan hukuman sewenang-wenang dalam bentuk penyiksaan dan pembunuhan terhadap tubuh yang dipertontonkan ke hadapan publik (public torture) terjadi dalam masa aristokrasi yang dikendalikan raja. Ketika aristokrasi bergeser pada republik dalam wujud negara, hukuman mati atau hukuman yang langsung menyentuh tubuh para kriminal makin dihilangkan. Negara harus memberikan hak hidup bagi seluruh warganya.

Sudut Pandang Moral

Tapi, mengapa hukuman mati sampai sekarang tetap diterapkan meski negara memiliki klaim politik demokratis? Tidakkah klaim demokratis yang sengaja ditunjukkan itu memuat kontradiksinya sendiri? Pada satu sisi, klaim sebagai negara demokrasi tersebut memberikan pengandaian serta keharusan bagi negara untuk melindungi hak hidup rakyatnya. Tapi, pada saat bersamaan, pencabutan nyawa terhadap pelaku kejahatan berat secara kontinu dijalankan tanpa ampun.

Kontradiksi dalam negara demokrasi itu bisa diredakan dengan menggunakan dua sudut pandang moral. Perspektif moral tersebut bermula dari kalkulasi yang masuk akal, bukan pada persoalan pantas atau tidak pantas, tapi lebih memperhitungkan pada aspek benar atau salah hukuman mati dijalankan. Secara lebih terperinci, kedua aliran moral (etika) yang menyajikan pembenaran bagi hukuman mati adalah:

Pertama, perspektif deontologis sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant (1724-1804). Menurut sudut pandang Kantian, negara demokrasi harus tetap menjalankan hukuman mati di atas pendasaran dan prinsip keadilan. Kewajiban negara adalah melindungi seluruh nyawa warganya. Ketika ada satu pihak (warga) menghilangkan nyawa pihak (warga) lain, merupakan kewajiban negara untuk menyelesaikannya. Jika nyawa yang hilang, penggantinya adalah nyawa juga. Ketika ada warga yang melenyapkan nyawa warga lain, negara harus membalasnya dengan menerapkan hukuman mati.

Secara sekilas pendapat ala Kantian itu melembagakan dan membenarkan cara balas dendam, yakni mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, darah yang tertumpah harus pula diganti dengan darah, dan pada titik puncaknya nyawa pun harus diganti dengan nyawa. Tapi, dalam sudut pandang Kantian, pendapat semacam itu terlalu sederhana. Perspektif Kantian lebih menekankan pada keadilan retributif, yakni keadilan yang berkarakter saling berbalasan. Orang yang bersalah harus dihukum menurut derajat kekeliruan yang dilakukannya. Itu adalah wujud rasional untuk menegaskan prinsip keadilan bagi semua warga tanpa kecuali. Warga yang bersalah karena membunuh, hukuman setimpalnya ialah negara menjalankan pembunuhan terhadap warga yang telah menghilangkan nyawa warga lain.

Kedua, perspektif konsekuensialis atau teleologis. Perpektif etika itu bermula dari kalkulasi utilitarian (kegunaan). Hukuman mati tetap dipilih dan diaplikasikan negara karena memiliki fungsi memberikan efek jera bagi warga lain. Bukan prinsip saling berbalasan jika hukuman mati digulirkan, melainkan lebih pada perhitungan hukuman itu dipandang efektif untuk menegakkan ketertiban sosial. Jadi, seorang warga yang mendapatkan hukuman mati dimaksudkan supaya warga lain tidak mengikuti perilaku serupa itu.

Prinsip dasar yang dipakai perspektif utilitarian adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah yang terbesar (the greatest happines of the the greatest numbers). Apabila hukuman mati bisa mendatangkan kebahagiaan bagi sebagian besar warga, hukuman dalam wujud penghilangan nyawa itu tetap dapat diteruskan. Apalagi, jika dampak hukuman tersebut diarahkan untuk mencegah terjadinya kekacauan sosial. Jumlah terbesar warga yang mendapat kebahagiaan dari penerapan hukuman mati itu dinilai sesuai dengan perhitungan demokrasi yang berkaca pada suara terbanyak warga.

Pantas Dihapus

Melalui dua sudut pandang moral itu, hukuman mati memang layak diterapkan dalam negara demokrasi. Sebab, semua justifikasi yang berkaitan dengan prinsip bagi negara untuk menegakkan keadilan dan memberikan kebahagiaan bagi jumlah warga yang terbesar memang dapat dipenuhi. Tapi, jika ditelaah secara lebih kritis, hukuman mati layak dipertanyakan.

Pertama, bukankah perspektif Kantian terhadap hukuman mati adalah penghalusan balas dendam dengan teknik yang terlihat lebih beradab? Kedua, benarkah perspektif utilitarian bisa dilihat hasilnya karena suara rakyat tentang hukuman mati tidak pernah ditunjukkan melalui jajak pendapat atau referendum? Betulkah pula hukuman mati memberikan efek jera ketika sekian banyak pelaku kejahatan terus bermunculan dengan berkedok jubah agama maupun alasan lain yang bertumpu pada penyimpangan kepribadian?

Dalam negara demokrasi, hukuman mati pantas dihapuskan. Hal itu berhitung pada alasan bahwa negara harus memberikan penghormatan kepada hak hidup setiap warga. Nyawa seorang warga sangat berharga sehingga negara harus menjaminnya. (*)

*). Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Opini Republika 23 Januari 2010

Leila Mona Ganiem
(Doktor Ilmu Komunikasi dan Konsultan Pengembangan Pribadi)

Sebuah tulisan berjudul 'Pendidikan Budaya dan Karakter Menurun'  (Republika, 18 Januari 2010) mengusik perasaan saya. Nilai-nilai budaya, seperti tata krama, etika, kreativitas, keteguhan hati, tangguh, pantang menyerah, bangga terhadap budaya sendiri, berjuang dan berprestasi dengan optimal, serta nilai-nilai luhur lainnya, kian langka kita temukan. Urgensi yang muncul dari realitas ini adalah kebutuhan akan pribadi manusia Indonesia yang berbudaya dan berkarakter tangguh.

Sebagai acuan dasar, kita dapat menggunakan konsep brain, behaviour, beauty (3B). Konsep 3B kerap dipakai sebagai tolok ukur kepribadian yang baik diranah profesional ataupun sosial. Kontes pemilihan putri/jejaka juga biasa mengukur indikator ini. Mari, kita elaborasi  tiga kekuatan tadi.

Brain, behavior, and beauty
Brain atau pikiran merefleksikan pengetahuan yang diperlukan dalam hidup. Brain juga berkaitan dengan pilihan keahlian yang didalami. Keahlian tersebut membawa seseorang pada perannya saat ini. Penggalian keahlian yang mumpuni mendukung peran signifikan seseorang. Brain lebih bermakna tidak single, melainkan multibidang. Misalnya, seorang guru profesional perlu memiliki pengetahuan subbidang materi ajarnya, penyampaian materi ajar, psikologi anak, strategi memotivasi agar anak berminat mengelaborasi kreatif potensinya, bahasa Inggris,  menulis, tahu teknologi informasi, etika, dan masih banyak lagi. Analogi yang kira-kira sama dapat digunakan bagi pekerjaan lain, seperti jurnalis, dokter, petani, pedagang, direktur perusahaan, dan berbagai peran lainnya.

Behavior atau perilaku. Dalam kehidupan, keahlian atau pengetahuan saja tidak cukup. Menurut David Goleman, perlu perilaku yang disebut kecerdasan emosional. Menurutnya, ada empat kompetensi penting yang selayaknya digunakan seseorang. Pertama, mampu membaca emosi diri dan dampaknya terhadap orang lain. Kedua, mampu mengontrol emosi serta beradaptasi pada perubahan lingkungan. Ketiga, mampu memahami emosi orang lain dan dampaknya terhadap organisasi. Keempat, mampu menginspirasi, memengaruhi, mengembangkan orang lain, serta mengatasi konflik.

Refleksi dari kecerdasan emosional tercermin dari sikap yang diambilnya. Mampukah seorang pejabat yang telah bersusah payah dan penuh biaya dalam memperoleh posisi menolak tawaran uang yang dihaturkan dengan sangat sopan dan tampak bebas risiko? Apakah seseorang memiliki kekuatan menahan diri dari narkoba yang ada di tangannya? Apakah seorang siswa bisa menahan diri dari menyontek yang saat itu bisa dilakukannya?  Kesanggupan memenangkan nilai-nilai luhur merefleksikan kecerdasan emosional seseorang.

Konsep ketiga, beauty, atau kemenarikan personal. Tanpa menafikan kodrat, penerimaan diri adalah refleksi damai diri atas berkah Ilahi. Optimalisasi potensi diri secara personal dapat meningkatkan kualitas interaksi. Kemenarikan personal dapat digali dengan berbagai cara. Misalnya, penggunaan ekspresi wajah; gerak tubuh yang meliputi cara duduk, berjalan, dan bersalaman; pengaturan jarak; penggunaan suara yang tepat; serta kemenarikan fisik, seperti kebersihan tubuh dan penampilan  sesuai konteks.

Ketiga konsep tersebut menarik. Namun, realitasnya, sistem pendidikan formal di Indonesia cenderung kurang mewadahi ketiga konsep itu secara komprehensif. Pendidikan formal cenderung membahas brain dan sedikit bahasan behavior.

Di pendidikan informal semacam training, pengembangan pribadi lebih menekankan beauty dan sedikit bahasan behavior. Mengacu pada tingginya kebutuhan merekonstruksi kurikulum yang menjembatani terciptanya manusia Indonesia yang mengerti budayanya dan memiliki karakter tangguh, melalui tulisan ini, saya bermaksud mengajukan dua konsep tambahan.

Berkarakter tangguh
Indonesia merupakan negara multikultur, memiliki ratusan etnis, ratusan bahasa, ribuan pulau, ratusan bahasa, seni, tata krama, dan aneka keragaman lainnya. Namun, apakah kita dan anak-anak kita memahami, menguasai, dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur bangsa dalam pola pikir, tindakan, dan perilaku?

Masihkah nilai-nilai luhur, seperti kerja sama, menghargai orang lain, sopan santun, pantang menyerah, keuletan, dan menghormati orang tua, digunakan dalam keseharian perilaku? Apakah kita lebih tahu disko daripada tarian daerah? Apakah kita tidak lagi menggunakan bahasa daerah karena menganggap kurang bermanfaat? Sekali lagi, pemahaman dan pengaplikasian budaya dan nilai-nilai luhur bangsa adalah imperatif. Hal itu juga perlu menjadi gerakan bersama. Tanpa mempersenjatai diri dengan pemahaman budaya dan nilai-nilai luhur bangsa, kita akan sangat sulit mempertahankan warna budaya sendiri di tengah derasnya bombardir informasi dan budaya asing.

Dengan pemahaman dan penguasaan budaya dan nilai-nilai luhur bangsa,  kita harapkan adanya manusia Indonesia yang berkarakter tangguh. Namun, itu tidak cukup karena Indonesia adalah negara dengan pluralitas sangat tinggi. Selain itu, kita adalah warga dunia yang hidup di desa global (Mc Luhan).

Di dunia ini, terdapat ratusan negara, lima ribuan etnis,  6900 bahasa, ribuan agama dan kepercayaan, berbagai cara bersalaman, kekerabatan, pemilihan pendekatan bisnis, dan masih banyak keberagaman lainnya. Hingga, mampu berkomunikasi dengan orang berbeda budaya, beda etnis, dan beda bangsa menjadi kian penting.

Kemajuan teknologi informasi, alat transportasi, bisnis, kerja sama militer, peluang pendidikan, kerja sama media massa, atau perjalanan wisata membuat keterbukaan akses kian sempurna.

Peluang dan tantangan yang ada membuat kita sebaiknya dapat menangkap kesempatan itu. Namun, secara harmoni mampu berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki perbedaan yang sangat nyata tersebut. Karena itu, perlunya kita menjadi manusia antarbudaya.

Manusia antarbudaya adalah manusia humanis yang memiliki kemampuan berkomunikasi efektif dengan orang berbeda budaya, beda etnis, dan beda bangsa.

Opini Republika 23 Januari 2010


Seorang pria Arab Saudi yang sudah masuk kategori tua bangka, 80 tahun, menikahi gadis remaja berusia 12 tahun. Sistem hukum negara itu pun kembali dikecam.

Sheikh Abdul Aziz Al-Asheikh Mufti Ulama Terkenal di Arab Saudi kurang sependapat dengan pernikahan dengan gadis dibawah umur, karena hal tersebut tidak dirasa adil dan merenggut hak-hak anak yang seharusnya mereka nikmati

Sheikh Abdul Aziz Al-Asheikh Mufti Ulama Terkenal di Arab Saudi kurang sependapat dengan pernikahan melibatkan gadis dibawah umur, karena hal tersebut tidak dirasa adil dan merenggut hak-hak anak yang seharusnya mereka nikmati. Lebih lanjut dia menyarankan kepada pemerintah untuk lebih menata aturan hukum yang berkaitan dengan hal tersebut

Pernikahan itu terjadi di Kota Buraidah di Provinsi Al-Qasim. Berdasarkan laporan harian Al-Riyadh, pekan lalu, gadis malang itu dipaksa menikah oleh ayahnya yang melawan kemauan gadis itu dan ibunya. Koran itu melaporkan, pernikahan itu dilakukan demi mas kawin.

Ibu gadis itu telah meminta bantuan Komisi Hak Asasi Arab Saudi. Namun, lembaga tersebut belum dapat berbuat sesuatu karena masih menunggu proses yang tengah berlangsung di pengadilan lokal.

"Ibu dari gadis di Buraidah itu meminta bantuan kami, meminta kami terlibat dalam membantu putrinya mendapatkan perceraian," kata ketua komisi itu, Bandar al-Aiban, kepada AFP, Kamis. "Kasus ini sekarang berada di tangan penegak hukum, dan saya tidak ingin mengatakan apa pun sebelum mereka membuat keputusan. Namun, saya berharap agar mereka mendapatkan keputusan sesegara mungkin." katanya.

Sheikh Abdullah al-Manie, seorang ulama senior Arab Saudi, mengatakan bahwa pernikahan dengan anak usia dini itu tidak dapat dibenarkan dengan merujuk pada pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisha, seorang gadis belia, pada 14 abad lalu. Kasus Aisha, yang dikenal di kalangan Muslim sebagai "Ibu dari Orang-orang Beriman," sering kali dipakai oleh hakim-hakim Saudi dan para ulama untuk membenarkan pernikahan dini.
Menikahi gadis belia bawah umur akhirnya mengantarkan Syeh Puji ke dalam jerusi besi penjara

Menikahi gadis belia bawah umur akhirnya mengantarkan Syeh Puji ke dalam jerusi besi penjara

Namun, Manie, anggota Dewan Ulama Senior, sebagaimana diberitakan harian Okaz, Kamis, mengatakan bahwa kasus Nabi Muhammad tidak dapat digunakan untuk membenarkan pernikahan usia dini. "Pernikahan Aisha tidak dapat disamakan dengan pernikahan dini anak-anak saat ini karena kondisi dan situasinya tidak sama," kata Manie.

Sistem hukum Arab Saudi berdasarkan pada hukum syariah. Semua hakimnya adalah ulama. Para hakim bukan mengikuti perkembangan hukum modern, melainkan mendasarkan keputusannya pada penafsiran sendiri terhadap teks-teks Islam yang ada. (Sumber: Kompas dan Mail Online)

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/