Leila Mona Ganiem
(Doktor Ilmu Komunikasi dan Konsultan Pengembangan Pribadi)

Sebuah tulisan berjudul 'Pendidikan Budaya dan Karakter Menurun'  (Republika, 18 Januari 2010) mengusik perasaan saya. Nilai-nilai budaya, seperti tata krama, etika, kreativitas, keteguhan hati, tangguh, pantang menyerah, bangga terhadap budaya sendiri, berjuang dan berprestasi dengan optimal, serta nilai-nilai luhur lainnya, kian langka kita temukan. Urgensi yang muncul dari realitas ini adalah kebutuhan akan pribadi manusia Indonesia yang berbudaya dan berkarakter tangguh.

Sebagai acuan dasar, kita dapat menggunakan konsep brain, behaviour, beauty (3B). Konsep 3B kerap dipakai sebagai tolok ukur kepribadian yang baik diranah profesional ataupun sosial. Kontes pemilihan putri/jejaka juga biasa mengukur indikator ini. Mari, kita elaborasi  tiga kekuatan tadi.

Brain, behavior, and beauty
Brain atau pikiran merefleksikan pengetahuan yang diperlukan dalam hidup. Brain juga berkaitan dengan pilihan keahlian yang didalami. Keahlian tersebut membawa seseorang pada perannya saat ini. Penggalian keahlian yang mumpuni mendukung peran signifikan seseorang. Brain lebih bermakna tidak single, melainkan multibidang. Misalnya, seorang guru profesional perlu memiliki pengetahuan subbidang materi ajarnya, penyampaian materi ajar, psikologi anak, strategi memotivasi agar anak berminat mengelaborasi kreatif potensinya, bahasa Inggris,  menulis, tahu teknologi informasi, etika, dan masih banyak lagi. Analogi yang kira-kira sama dapat digunakan bagi pekerjaan lain, seperti jurnalis, dokter, petani, pedagang, direktur perusahaan, dan berbagai peran lainnya.

Behavior atau perilaku. Dalam kehidupan, keahlian atau pengetahuan saja tidak cukup. Menurut David Goleman, perlu perilaku yang disebut kecerdasan emosional. Menurutnya, ada empat kompetensi penting yang selayaknya digunakan seseorang. Pertama, mampu membaca emosi diri dan dampaknya terhadap orang lain. Kedua, mampu mengontrol emosi serta beradaptasi pada perubahan lingkungan. Ketiga, mampu memahami emosi orang lain dan dampaknya terhadap organisasi. Keempat, mampu menginspirasi, memengaruhi, mengembangkan orang lain, serta mengatasi konflik.

Refleksi dari kecerdasan emosional tercermin dari sikap yang diambilnya. Mampukah seorang pejabat yang telah bersusah payah dan penuh biaya dalam memperoleh posisi menolak tawaran uang yang dihaturkan dengan sangat sopan dan tampak bebas risiko? Apakah seseorang memiliki kekuatan menahan diri dari narkoba yang ada di tangannya? Apakah seorang siswa bisa menahan diri dari menyontek yang saat itu bisa dilakukannya?  Kesanggupan memenangkan nilai-nilai luhur merefleksikan kecerdasan emosional seseorang.

Konsep ketiga, beauty, atau kemenarikan personal. Tanpa menafikan kodrat, penerimaan diri adalah refleksi damai diri atas berkah Ilahi. Optimalisasi potensi diri secara personal dapat meningkatkan kualitas interaksi. Kemenarikan personal dapat digali dengan berbagai cara. Misalnya, penggunaan ekspresi wajah; gerak tubuh yang meliputi cara duduk, berjalan, dan bersalaman; pengaturan jarak; penggunaan suara yang tepat; serta kemenarikan fisik, seperti kebersihan tubuh dan penampilan  sesuai konteks.

Ketiga konsep tersebut menarik. Namun, realitasnya, sistem pendidikan formal di Indonesia cenderung kurang mewadahi ketiga konsep itu secara komprehensif. Pendidikan formal cenderung membahas brain dan sedikit bahasan behavior.

Di pendidikan informal semacam training, pengembangan pribadi lebih menekankan beauty dan sedikit bahasan behavior. Mengacu pada tingginya kebutuhan merekonstruksi kurikulum yang menjembatani terciptanya manusia Indonesia yang mengerti budayanya dan memiliki karakter tangguh, melalui tulisan ini, saya bermaksud mengajukan dua konsep tambahan.

Berkarakter tangguh
Indonesia merupakan negara multikultur, memiliki ratusan etnis, ratusan bahasa, ribuan pulau, ratusan bahasa, seni, tata krama, dan aneka keragaman lainnya. Namun, apakah kita dan anak-anak kita memahami, menguasai, dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur bangsa dalam pola pikir, tindakan, dan perilaku?

Masihkah nilai-nilai luhur, seperti kerja sama, menghargai orang lain, sopan santun, pantang menyerah, keuletan, dan menghormati orang tua, digunakan dalam keseharian perilaku? Apakah kita lebih tahu disko daripada tarian daerah? Apakah kita tidak lagi menggunakan bahasa daerah karena menganggap kurang bermanfaat? Sekali lagi, pemahaman dan pengaplikasian budaya dan nilai-nilai luhur bangsa adalah imperatif. Hal itu juga perlu menjadi gerakan bersama. Tanpa mempersenjatai diri dengan pemahaman budaya dan nilai-nilai luhur bangsa, kita akan sangat sulit mempertahankan warna budaya sendiri di tengah derasnya bombardir informasi dan budaya asing.

Dengan pemahaman dan penguasaan budaya dan nilai-nilai luhur bangsa,  kita harapkan adanya manusia Indonesia yang berkarakter tangguh. Namun, itu tidak cukup karena Indonesia adalah negara dengan pluralitas sangat tinggi. Selain itu, kita adalah warga dunia yang hidup di desa global (Mc Luhan).

Di dunia ini, terdapat ratusan negara, lima ribuan etnis,  6900 bahasa, ribuan agama dan kepercayaan, berbagai cara bersalaman, kekerabatan, pemilihan pendekatan bisnis, dan masih banyak keberagaman lainnya. Hingga, mampu berkomunikasi dengan orang berbeda budaya, beda etnis, dan beda bangsa menjadi kian penting.

Kemajuan teknologi informasi, alat transportasi, bisnis, kerja sama militer, peluang pendidikan, kerja sama media massa, atau perjalanan wisata membuat keterbukaan akses kian sempurna.

Peluang dan tantangan yang ada membuat kita sebaiknya dapat menangkap kesempatan itu. Namun, secara harmoni mampu berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki perbedaan yang sangat nyata tersebut. Karena itu, perlunya kita menjadi manusia antarbudaya.

Manusia antarbudaya adalah manusia humanis yang memiliki kemampuan berkomunikasi efektif dengan orang berbeda budaya, beda etnis, dan beda bangsa.

Opini Republika 23 Januari 2010

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/