Oleh Supartoyo
Masih segar dalam ingatan kita kejadian gempa bumi pada 2 September 2009. Kejadian tersebut sangat mengagetkan sebagian besar penduduk Jawa Barat, terutama yang bermukim dan beraktivitas di wilayah Jawa Barat selatan yang terletak dekat dengan sumber gempa bumi. Ya, memang wilayah Jawa Barat yang kita cintai ini merupakan salah satu wilayah rawan bencana geologis, khususnya bencana gempa bumi. Hal ini tidak terlepas dari dampak pertemuan antara Lempeng Benua Eurasia yang bergerak ke tenggara dengan kecepatan sekitar 0,4 cm/ tahun dan Lempeng Samudra Indo-Australia yang bergerak relatif ke arah utara dengan kecepatan sekitar 7 cm/ tahun (Minster dan Jordan, 1978).

 

Tumbukan antarlempeng tersebut tidak selalu memberikan dampak negatif berupa rawan bencana geologis, tetapi juga memberikan beberapa dampak positif berupa cekungan minyak bumi terutama di pantai utara Jawa Barat, jalur mineralisasi dan panas bumi terutama di sepanjang pegunungan selatan Jawa Barat, bahan/material bangunan yang dihasilkan oleh aktivitas gunung api, tanah subur, dan air tanah yang memadai pada endapan gunung api, serta lokasi pariwisata akibat proses geologis yang terjadi. Semua itu merupakan anugerah yang patut kita syukuri.
Di Pulau Jawa, bencana gempa bumi dari 1818 hingga 2009 tercatat 92 kali kejadian dengan perincian di Jawa Barat 34 kejadian disusul Jawa Tengah (25), Jawa Timur (22), Banten (6), dan Yogyakarta (5) (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2009). Lagi-lagi Jawa Barat merupakan wilayah paling rawan bencana gempa bumi di Pulau Jawa, termasuk gempa bumi di Jawa Barat 2 September 2009.
Sebagian besar bencana gempa bumi di Jawa Barat bersumber di darat, bukan di laut. Kejadian gempa bumi tersebut magnitudanya tidak terlalu besar, kurang dari 6 pada skala Richter (SR), kedalaman kurang dari 40 km, dan berkaitan dengan pergerakan patahan aktif atau sesar aktif. Dengan demikian, wilayah-wilayah yang dekat dengan pergerakan patahan aktif harus diwaspadai karena apabila terjadi gempa bumi yang bersumber dari patahan aktif tersebut, wilayah itu akan mengalami guncangan terbesar. Para ahli kebumian mengidentifikasi beberapa jalur patahan aktif di Jabar, yaitu patahan Cimandiri di Palabuhanratu dan Sukabumi, patahan Walat di Sukabumi, patahan Baribis di Majalengka, patahan Lembang, patahan di wilayah Cicalengka, patahan di wilayah Garut, patahan di wilayah Gunung Halu, patahan di wilayah Cianjur dan patahan di wilayah Kuningan.
Di samping bersumber di darat, kejadian gempa bumi di Jawa Barat juga bersumber di laut. Kejadian gempa bumi bersumber di laut tersebut berpotensi membangkitkan tsunami seperti yang terjadi di Pangandaran 1921 dan 2006.
Upaya mitigasi
Belajar dari 34 gempa bumi, timbul pertanyaan upaya apa yang harus dilakukan? Berdasarkan sejarah kejadian bencana gempa bumi sebelumnya dan kondisi geologisnya, para ahli kebumian dapat mengidentifikasi kawasan yang tergolong rawan bencana gempa bumi. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, upaya untuk mengurangi risiko bencana dalam hal ini termasuk bencana gempa bumi adalah dengan melakukan serangkaian upaya mitigasi yang dapat dilakukan melalui upaya mitigasi struktural atau fisik dan upaya mitigasi nonstruktural atau nonfisik.
Upaya mitigasi struktural dilakukan melalui pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur yang semuanya berdasarkan parameter karakteristik kegempaan. Sumber gempa bumi, wilayah yang pernah terlanda guncangan kuat gempa bumi, nilai percepatan gempa bumi pada batuan dasar, lokasi retakan tanah, pergeseran tanah, likuifaksi dan longsoran akibat gempa bumi sebelumnya harus terpetakan dengan baik sebagai informasi kegempaan untuk keperluan penataan ruang.
Sudah saatnya ditegakkan aturan membangun dengan konstruksi bangunan tahan gempa bumi baik untuk bangunan yang mengundang konsentrasi banyak orang maupun rumah penduduk. Apabila bangunan dan rumah penduduk dirancang dan dibangun mengikuti kaidah bangunan tahan gempa bumi, dampak dari gempa bumi akan dapat diminimalkan. Apalagi kini sedang dilakukan tahap rekonstruksi pembangunan gedung dan rumah penduduk yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi Jabar selatan, menurut penulis model rekonstruksi gempa bumi Bantul 2006 dapat diterapkan di Jawa Barat. Di wilayah tersebut pada tahap rekonstruksi, pemerintah daerah setempat bekerja sama dengan universitas yang mempunyai fakultas teknik sipil dan arsitektur serta asosiasi yang terkait dengan konstruksi bangunan terjun langsung ke lapangan. Menurut penulis, beberapa fakultas teknik sipil dan arsitektur dari berbagai perguruan tinggi di Kota Bandung perlu dilibatkan dalam tahap rekonstruksi ini. Dengan demikian, rumah penduduk yang dibangun kembali akan mengikuti kaidah bangunan tahan gempa bumi.
Upaya penting lainnya, yaitu mengevaluasi ulang bangunan di kawasan rawan bencana gempa bumi terutama pada bangunan yang mengundang konsentrasi banyak orang, apakah bangunan tersebut masih mempunyai kemampuan untuk bertahan dari goncangan gempa bumi dengan magnituda tertentu? Apabila memang tidak mampu menahan guncangan gempa bumi, upaya apa yang harus dilakukan.
Upaya mitigasi nonstruktural dilakukan melalui penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan kegempaan. Penduduk yang bermukim dan beraktivitas di wilayah rawan gempa bumi ditingkatkan kesadaran dan kesiapsiagaannya dalam menghadapi gempa bumi. Jalur dan lokasi tempat evakuasi ditentukan sehingga apabila terjadi gempa bumi penduduk tidak akan bingung dan bertanya kemana harus mengungsi. Dari pengamatan penulis, beberapa bangunan yang mengundang konsentrasi banyak orang, belum dilengkapi dengan informasi tempat untuk penyelamatan diri, sehingga begitu terjadi gempa bumi, masyarakat di gedung tersebut akan berebut mencari tempat penyelamatan diri. Upaya pelatihan penyelamatan gempa bumi wajib dilakukan. Bagi para guru semestinya mengadakan pelatihan penyelamatan saat terjadi gempa bumi kepada murid-murid di sekolahnya secara teratur.
Perlu kita sepakati bersama, bencana gempa bumi merupakan tanggung jawab kita bersama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di Jawa Barat, ada banyak lembaga swadaya masyarakat yang siap terlibat dalam penanggulangan bencana gempa bumi. Oleh karena itu, strategi pengurangan risiko bencana gempa bumi harus melibatkan LSM sebagai pendamping, pendidik, dan penyadar kepada masyarakat yang bermukim dan beraktivitas di kawasan rawan bencana gempa bumi sebagaimana diamanatkan UU 24/2007.
Penutup
Tahun 2009 sebentar lagi berakhir dan tahun 2010 telah siap menanti. Bagi masyarakat yang wilayahnya pernah terlanda bencana gempa bumi agar tetap waspada akan kejadian gempa bumi dengan tidak memercayai isu-isu yang tidak jelas sumbernya dan selalu mengikuti informasi yang benar terutama yang bersumber dari Satlak maupun Satkorlak di Jawa Barat. Jawa Barat sudah saatnya memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sehingga upaya penanggulangan bencana khususnya gempa bumi akan lebih terarah, terfokus, dan terintegerasi dengan sektor lainnya. Dengan demikian, upaya penanggulangan bencana gempa bumi bukan sekadar pada tahapan tanggap darurat saja berupa pembagian tenda, mi instan, air mineral, tetapi lebih difokuskan pada tahapan mitigasi bencana gempa bumi baik melalui mitigasi struktural maupun mitigasi nonstruktural yang dilakukan jauh hari sebelum terjadi gempa bumi. Hanya dengan upaya mitigasi, risiko bencana gempa bumi akan dapat diminimalisasi. Semoga....***

Penulis, peneliti gempa bumi di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, dan mahasiswa S-3 Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB.
Opini Pikiran Rakyat 16 Desember 2009


0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/