Suatu kali, Kanjeng Nabi SAW ditanya oleh seorang buta, apakah ia harus tetap berjamaah ke masjid ketika mendengar azan. Kanjeng Nabi SAW mengiyakannya. Dari sini, Islam tidak membedakan kewajiban antara muslim difabel (people with different ability) dan muslim normal lainnya.
Kanjeng Nabi memberikan berbagai keringanan salat tatkala dalam perjalanan, hujan ataupun sakit, namun tidak ada kompensasi khusus kepada sahabat yang buta. Paling-paling muslim difabel akan diqiyaskan kepada kondisi sakit atau darurat.



Islam tidak terjebak kepada kontruksi cacat dan normal. Tidak ada kontruksi fikih khusus tentang muslim difabel. Kontruksi fikih Islam memandang manusia dalam satu kontruksi fisik yang sama. Tidak ada dispensasi yang khusus. Mungkin saja, kita bisa berdebat bahwa tidak ada ahli fikih yang difabel, sehingga kontruksi fikih bagi muslim difabel terlupakan. Seperti tuduhan feminis liberal bahwa fikih semata dibentuk laki-laki, sehingga meletakkan kuasa laki-laki atas perempuan. Laki-laki menjadi subjek, perempuan semata objek.
Namun, diakui atau tidak, sulit menemukan teks-teks khusus bagi muslim difabel. Paling-paling, kita akan memperdebatkan teks-teks umum yang multitafisir. Namun, ketiadaan kontruksi fikih yang diskriminatif ini menunjukkan sifat emansipatif Islam terhadap muslim difabel. Islam menutup rapat-rapat, para difabel untuk bertindak apologis dan meminta dikasihani. Para difabel harus tetap bekerja mencari nafkah. Islam mendorong pemberdayaan penyandang difabel.
Seperti diungkapkan Tandon, “the force of change is inside oneself; outsiders can only provide ’enabling conditions’.” Penyandang cacat sendirilah yang harus bangkit dan mempunyai keinginan kuat untuk berkembang; tidak hanya berdiam diri menunggu bantuan.
Maka, aksesibilitas kaum difabel inilah yang harus diperhatikan. Seperti dalam konteks masjid di atas. Kanjeng Nabi SAW memerintahkan seorang buta agar tetap ke masjid maka masjid wajib memberikan aksesibilitas bagi para kaum difabel, bukan semata tuna netra, namun juga tuna rungu, tuna grahita dan tuna daksa. Kenyataannya, diskriminasi terjadi di masjid-masjid raya. Untuk masuk masjid, kita harus menaiki tangga yang berpuluh-puluh. Demikian pula, tempat wudu yang diletakkan di lantai bawah mengharuskan kita menuruni tangga yang banyak pula. Kaum difabel seringkali ditolak masuk masjid secara tidak langsung. Umat Islam gagal menangkap pesan sosial dalam memahami hadis tersebut.
Pesan kesetaraan inilah yang jelas ditunjukkan dalam awal surat Abasa ayat 1-3. Kala itu, Nabi SAW bermuka masam terhadap Abdullah ibn Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta, tatkala Nabi sedang berbicara dengan tokoh-tokoh Quraisy. Kanjeng Nabi SAW ditegur oleh Allah SWT bahwa kaum difabel memiliki hak bicara yang sama untuk diperdengarkan tanpa adanya diskriminasi.
Kaum difabel tidak mendapat dispensasi khusus dalam fikih Islam maka kewajiban umat beragama tidak mendiskriminasi kaum difabel dalam seluruh bidang kehidupan. Terutama dalam akses pendidikan dan pekerjaan formal. Agama harus melindungi kaum difabel dari upaya pemarginalan peran.
Aksesibilitas peran inilah yang juga didorong oleh Declaration on the Rights of Disabled Persons. Deklarasi itu menyebutkan kaum difabel sebagai “means any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities.
Menurut data PBB, diperkirakan 3% penduduk Indonesia mengalami cacat bawaan fisik. Terlebih dengan berbagai bencana yang melanda, yang diperkirakan menyumbang 20.000 difabel baru. Jumlah yang cukup banyak dan akan menjadi beban sosial dan negara bila tidak diberdayakan. Kaum difabel juga harus mendapat doktrin agama yang benar bahwa mereka tetap wajib bekerjam tidak boleh menggantungkan diri kepada lingkungan sosialnya. Agama menolak kaum difabel menjadi anak manja, pemalas dan berputus asa.
Gus Dur patut menjadi teladan bagi kaum difabel, sebagaimana Megawati menjadi teladan bagi emansipasi kaum perempuan. Kaum difabel mampu menjadi presiden, pimpinan politik, pimpinan agama, penulis dan intelektual nomor wahid di negeri ini. Walaupun tokoh sekaliber Gus Dur banyak mengalami diskriminasi semata kondisi penglihatannya yang tidak sempurna. Gus Dur dihambat menjadi calon presiden. Bahkan, seorang tokoh agama menghina Gus Dur sebagai ”buta hati” semata karena buta matanya. Karena Gus Dur tidak melihat, kemudian didiskreditkan pasti tidak tahu. Padahal, Gus Dur masih mampu mendengar beragam informasi dan wacana.
Kasus Gus Dur merupakan contoh nyata kejahatan struktural terjadi terhadap kaum difabel di negara ini. Gus Dur menjadi simbol perlawanan struktural dan sosial kaum difabel. Diakui atau tidak, Gus Dur seringkali dihina karena buta. Bahkan di berbagai universitas yang seharusnya menjadi pilar bagi pemberdayaan kaum difabel, ternyata terjebak kepada stigma yang menyudutkan kaum difabel. Kalimat ”tidak mempunyai cacat tubuh atau ketunaan yang dapat mengganggu kelancaran belajar pada program studi pilihannya” sering menghambat kaum difabel masuk berbagai universitas ternama.
Tuhan telah menegaskan laqod kholaqna al-insana fii ahsani taqwim. Manusia adalah produk terbaik Tuhan walapun ia cacat. Tuhan tidak memberikan dispensasi khusus. Agama menuntut kaum difabel memberdayakan dirinya, bukan menjadi beban sosial, menjadi pengemis di jalan-jalan. Maka, agama harus mendorong misi profetiknya kepada kaum difabel. Manusia beragama harus berbagi akses dan pemberdayaan kepada kaum difabel. Mereka harus diberikan hak berperan dalam kehidupan. Bila tidak kita termasuk umat yang mustakbirun fi al-ardh.
Dan kunci dari seluruh pemberdayaan itu adalah akses pendidikan formal bagi kaum difabel yang harus diperluas tanpa diskriminasi. Kita butuh universitas yang memiliki aksesibilitas nyata bagai kaum difabel. -
Oleh : Arif Amani, Pengajar Pesantren Nurul Hikmah Karanganyar
Opini Solo Pos 3 Desember 2009

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/