Posted by
Lowongan Kerja Dan Gambar
/ 2:02 AM /
Sudah lama sebenarnya makelar kasus (markus) bercokol di negeri ini. Markus menjadi bagian dari mafia peradilan yang menggerogoti rasa keadilan dan menghancurkan sistem peradilan.
Namun baru belakangan keberadaan markus mengusik banyak orang. Sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun merasa gerah dan bertekad memberantas markus dan mafia peradilan. Tentunya tak mudah mengganyangnya. Sebab, bagi sebagian besar oknum pejabat penegak hukum, markus adalah sebuah solusi di tengah berbagai keterbatasan gaji, operasional, dan gaya hidup modern. Seorang wartawan bertanya kepada saya, apa indikasi markus sudah begitu merajalela di negeri ini? Jawabnya mudah saja.
Coba jelaskan dari mana para oknum pejabat penegak hukum di negeri ini bisa memiliki rumah mewah di kawasan mewah, dengan fasilitas mewah dan mobil mewah? Padahal gaji pokok tertinggi pegawai negeri sipil, TNI, dan Polri hanya Rp3.525.000. Kemudian ditambah tunjangan jabatan sebagai pejabat negara, tunjangan umum, uang lauk pauk, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan beras, tunjangan khusus, dan uang rapat, total penghasilan seorang pejabat tertinggi di instansi penegak hukum hanya Rp23.919.930 per bulan.
Dengan penghasilan sebesar itu per bulan, mungkinkah seorang pejabat tinggi di institusi penegak hukum mampu membeli rumah mewah berharga miliar rupiah di kawasan mewah? Gaya hidup modern yang materialistis memang sudah memusnahkan sifat kearifan di kebanyakan aparat penegak hukum. Kemewahan kerap membuat mereka gelap mata. Faktor inilah yang kemudian menjadi pintu masuk bagi para markus. Persekutuan tersebut membuat banyak oknum pejabat penegak hukum menjadi kaya raya. Dari penelusuran Indonesia Police Watch, ada delapan komponen yang memberi kontribusi hingga seorang oknum pejabat penegak hukum bisa menjadi kaya raya.
Pertama, pertemanan destruktif (teman kolusi dan umumnya pengusaha bermasalah) memberi kontribusi 31%. Kedua, markus 25%. Ketiga, setoran bawahan 15%. Keempat, pungutan liar (pungli) 15%. Kelima, manipulasi (barang bukti) 7%. Keenam, uang tanda terima kasih (dari masyarakat yang merasa dibantu) 7%. Ketujuh, honor dari luar institusi (honor seminar misalnya) hampir 0%. Kedelapan, gaji juga hampir 0%.
Darurat Keadilan
Diperdengarkannya rekaman percakapan Anggodo Widjaja di Mahkamah Konstitusi pada 3 November 2009 lalu menunjukkan betapa markus telah menguasai sistem hukum di negeri ini. Rekaman itu bukan hanya menunjukkan telah terjadinya rekayasa kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi sekaligus membuktikan bahwa Indonesia telah terjerumus dalam keadaan darurat keadilan. Keadilan diperjualbelikan.
Kaki tangan pengusaha bermasalah begitu gampang mengutak-atik pasal dan saksi-saksi agar menguntungkan perkaranya- sambil merugikan lawannya. Di lingkungan kepolisian, manuver markus pun telah membutakan mata hati, nurani, dan sikap arif aparat. Fungsi sebagai pengayom seakan tak bisa lagi diharapkan masyarakat. Tak mengherankan jika seseorang yang hanya mengisi baterai telepon seluler di lobi apartemen pun bisa dengan cepat dijebloskan ke sel tahanan. Tak mengherankan jika seorang nenek yang hanya mencuri tiga buah cokelat bisa dengan cepat diseret ke meja pengadilan. Tak ada lagi sikap arif aparat kepolisian untuk mendamaikan kasus kecil seperti ini secara kekeluargaan.
Mata hati aparat polisi seperti sudah buta. Mereka lupa bahwa salah satu fungsinya sebagai polisi adalah pengayom masyarakat. Masih terlalu banyak kasus besar yang harus ditangani dibandingkan kasus pencurian tiga buah cokelat. Sebaliknya, sangat sulit bagi aparat kepolisian untuk menjerat Anggodo. Markus telah merusak sistem keadilan dan kepastian hukum. Ironisnya, pemerintah tidak pernah berdaya menghadapi aksi-aksi komplotan markus ini. Kuatnya keberadaan markus ini tentulah tidak berdiri sendiri. Selain gaya hidup modern seperti yang diungkapkan di atas, berbagai kelemahan dalam sistem hukum di negeri ini juga menjadi peluang bagi berkembang biaknya markus di lingkungan kepolisian.
Tidak diaturnya batas waktu penyidikan oleh kepolisian di dalam undang-undang membuat masyarakat yang beperkara menjadi terombang-ambing tanpa kepastian hingga cenderung menjadikan markus sebagai solusi. Di sisi lain, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi peluang yang sangat besar bagi kewenangan aparat kepolisian. Dalam hal menahan seseorang, misalnya, tolok ukurnya hanya polisi sebagai penyidik.
Tidak ada pembanding, seperti hakim wilayah, yang ikut menelaah, apakah pasal-pasal yang digunakan polisi untuk menahan orang tersebut sudah tepat atau tidak. Diskresi polisi yang begitu besar berjalan tanpa kontrol yang ketat, sehingga penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oknum kepolisian meluas, di antaranya bersekutu dengan markus.
Apalagi yang menjadi markus umumnya adalah kerabat aparat, teman dekat aparat, oknum pengacara, dan mantan atasan aparat, persekutuan pun makin solid. Markus makin mendapatkan tempat istimewa di lingkungan kepolisian tatkala gaji dan biaya operasional kepolisian sangat minim. Situasi ini diperparah lagi dengan adanya sikap atasan yang senantiasa minta dilayani. Budaya setoran juga menjadi faktor hingga markus menjadi sebuah solusi.
Lembaga Kontrol
MK telah memutar rekaman percakapan Anggodo yang membuktikan keberadaan markus, kemudian muncul pula tekad Presiden SBY untuk memberantas markus maupun mafia peradilan. Pertanyaannya, mampukan SBY mewujudkan tekadnya, mengingat markus adalah sebuah kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup modern oknum aparat dan merupakan solusi di tengah-tengah berbagai keterbatasan gaji serta biaya operasional? Kita memang tak pantas pesimistis untuk sesuatu yang positif. Namun terlalu banyak yang harus dibenahi jika memang benar-benar ingin memberantas markus. Pembenahan tersebut harus konsisten dan berkomitmen tinggi.
Yang menjadi prioritas utama dalam pembenahan itu adalah bagaimana mewujudkan lembaga kontrol yang kuat, baik di internal maupun eksternal kepolisian. Kemudian Polri memang perlu dipimpin oleh perwira yang mempunyai integritas, berkomitmen tinggi, dan bermoral. Tanpa itu jangan harap markus bisa musnah dari lingkungan kepolisian.(*)
Neta S Pane
Ketua Presidium Indonesia Police Watch
Opini Okezone 3 November 2009
0 comments:
Post a Comment