Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan Hari Antikorupsi Internasional 2009, Rabu (9/12), berlangsung lebih kolosal dan semarak. Festival tahun ini seakan menjadi pertunjukan bangkitnya kemarahan rakyat dalam melawan berbagai kasus dugaan korupsi yang tidak kunjung selesai dan berujung.

Anggodo-gate, kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan skandal bailout Bank Century seakan menjadi panggilan moral pada nurani untuk melawan korupsi.


Kemarahan nasional terhadap korupsi sudah menjadi endemis sehingga bangsa ini terasa enggan keluar menuju bangsa yang bermartabat. Bukti ketertatihan bangsa ini dalam menapaki sejarah bangsa yang bersih dari korupsi ini juga bisa dilihat dari hasil survey teranyar Transparency International Indonesia (TII). Lembaga ini menempatkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada peringkat 111 dari 180 negara dengan skor 2,8. Dibandingkan tahun 2008, posisi dan skor IPK tahun ini memang mengalami kemajuan karena sebelumnya berada di urutan 126 dengan skor 2,6.
Meski mengalami perbaikan, prestasi itu tetap saja menuntut perbaikan tata kelola pemerintahan dan komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi. Sebab, fakta menunjukkan bahwa pencurian uang rakyat dianggap sebagai tindakan yang ”lazim”, sehingga tidak jarang dilakukan secara berjamaah. Kalaupun tidak beramai-ramai, perampokan uang negara tersebut selalu melibatkan lebih dari dua atau tiga pihak, bahkan mirip dengan sindikat.
Melihat lanskap korupsi yang panjang dan sistematis ini, sudah sewajarnya perlawanan terhadap korupsi dikategorikan jihad (holy war/perang suci) kontemporer. Jika selama ini jihad dimaknai sebagai ”perang” yang identik dengan pertumpahan darah, sudah saatnya term ini dikontekstualisasikan untuk memenangkan keadilan sosial. Jihad adalah aktualisasi tindakan ikhlas untuk mengorbankan harta dan jiwa bagi kemanusiaan universal, sesuai dengan misi agama dalam mewujudkan keselamatan (slavery) bagi manusia.
Dalam upaya menerjemahkan jihad melawan korupsi, sudah saatnya institusi keagamaan, organisasi sosial, dan lain-lainnya turun tangan. Berbagai lembaga dan organisasi ini harus menyatakan perang secara lebih konsisten dan terarah terhadap korupsi. Bahkan, jika perlu, lembaga-lembaga ini dapat mengeluarkan ”fatwa” tentang wajibnya melakukan jihad melawan korupsi. Jihad semacam inilah yang sesungguhnya relevan dengan kondisi Indonesia kontemporer dan masa mendatang (Azyumardi Azra: 2003).
Pasalnya, korupsi lebih dari sekadar cacat moral, tetapi tindakan ini menjadi semacam kanker yang menggerogoti semua usaha serius bangsa untuk keluar dari keterpurukan. Meminjam istilah Haedar Nashir (2003), korupsi di negeri ini telah menjadi persoalan struktural, kultural, dan personal. Praktik korupsi telah menjadi bagian dari perilaku umum, tidak hanya melalui keseragaman, tetapi juga dengan tindakan yang bervariasi. Korupsi sudah menjadi sistem yang tidak lekang dengan berlalunya waktu, yang terus-menerus diproduksi, direproduksi, serta diwariskan.

Term jihad
Merujuk term jihad yang disebut dalam Alquran sebanyak 35 kali, terdapat tiga kata yang satu rumpun dengan kata jihad dengan makna beragam dan mendalam. Pertama, juhdun yang mengarah kepada kerja keras untuk membela kebenaran. Dalam proses sejarah Islam pengertian ini lantas lebih banyak mengandung pengertian kerja keras dalam arti fisik, lalu berkembang menjadi perang.
Kedua, kata yang serumpun dengan jihad adalah ijtihad yang lebih merujuk kepada kesungguhan dari segi pemikiran atau intelektualitas. Ijtihad merupakan satu etos yang sangat kuat dalam agama Islam sebagai kerja keras dari segi pemikiran atau intelektualitas untuk memecahkan persoalan. Ketiga, kata yang masih seakar dengan jihad ialah mujahadah yang lebih mengarah kepada spiritual exercise (pengalaman spiritual), olah rohani yang sungguh-sungguh sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan sufi.
Dari ketiga istilah itu, menurut pemikir Islam Indonesia KH Agus Salim sebagaimana yang dikutip Budhy Munawar Rachman (2004), jihad yang tepat dalam kondisi damai adalah kerja keras untuk membela kebenaran. Sebab jihad merupakan pertahanan diri dan pembelaan diri, bukan untuk agresi atau menyerang. Sehingga, dalam kondisi damai pun, jihad memang harus tetap terus dikumandangkan, tetapi harus melalui cara dan mekanisme yang lebih efektif, visioner, proyektif dan aplikatif dengan strategi dan target jangka panjang yang konkret.
Perang sesungguhnya yang dibutuhkan adalah memenangkan keadilan sosial yang tentunya butuh banyak strategi dan taktik. Berperang melawan korupsi dalam kekinian adalah jihad yang sesungguhnya. Perjuangan memberantas korupsi adalah perbuatan mulia untuk menegakkan fungsi manusia yang sesungguhnya sebagai wakil Tuhan di bumi.
Sudah saatnya agamawan mulai memaknai dakwahnya sebagai alat memperjuangkan keadilan, khususnya dalam melawan korupsi. Perlawanan ini bisa diimplementasikan melalui pesan-pesan dakwah di berbagai masjid, musala, maupun forum pengajian. Jika selama ini ceramah biasa diisi dengan janji-janji surga, saatnya diubah dengan semangat dan upaya melawan korupsi. Begitu juga halnya dengan lembaga pendidikan, di dalamnya harus digalakkan dengan kesadaran antikorupsi.
Korupsi adalah masalah legal, etis, dan tanggung jawab moral maka upaya penanggulangannya memang harus menggunakan cara-cara yang extraordinary. Tetapi yang pasti, memberantas korupsi adalah tindakan mulia yang harus dilakukan setiap kaum beriman, karena korupsi adalah biang kejahatan dan kemaksiatan (corruption is the root of all evils). Genderang jihad membasmi korupsi harus ditabuh lebih kencang lagi sebagai panggilan dan kewajiban untuk menjawab tantangan zaman. Allah a’lam bi al-shawab. -

Oleh : Muh Kholid AS, Alumnus Ponpes Al Mukmin Ngruki
Opini Solo Pos 11 Desember 2009

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/