Penerimaan calon pegawai negeri sipil/daerah (CPNS/D) hari-hari ini tengah berlangsung di berbagai instansi pemerintah baik di level nasional maupun daerah. Para pelamarnya membludak, jauh di atas kebutuhan formasi yang biasanya sangat terbatas.

Sebagaimana biasa, prosesnya dimulai dengan pendaftaran, seleksi berkas, tes tertulis, dan bila perlu dilanjutkan dengan tes wawancara. Semua dilewati sebagai prosedur formal dan lancar-lancar saja. Namun di balik itu sungguh terjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan. Ada syarat dan proses yang terselubung dan tidak tertulis, praktiknya berlangsung "di bawah tangan" atau sembunyi-sembunyi antara pihak instansi penerima dengan pelamar pekerjaan dan tanpa bukti tertulis, yakni terjadinya transaksi suap-menyuap, sogok-menyogok, atau jual beli formasi pegawai.

Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan) EE Mangindaan agaknya sudah memperoleh informasi tentang hal itu. Berdasarkan laporan dari daerah, menurut mantan Gubernur Sulawesi Utara itu, nilai yang dibayarkan oleh setiap pemalar untuk bisa terjaring masuk CPNS mencapai Rp100 juta--suatu angka yang sangat besar bagi umumnya rakyat bangsa ini. Itu pun, tentu saja, baru pada tingkat janji, belum tentu dinyatakan lulus seleksi karena yang terjadi adalah mekanisme pasar: semakin besar nilai bayarannya akan semakin besar peluangnya dan sebaliknya.

Fenomena seperti itu sebenarnya sudah lama terjadi, sudah jadi rahasia umum di berbagai daerah. Bahkan, kalau mau jujur diakui, juga terjadi dalam rekrutmen aparat kepolisian dan jajaran TNI. Semuanya sudah cenderung dianggap wajar. Padahal sebenarnya cara-cara seperti itu dapat dikatakan sebagai bagian pemerasan dari oknum aparat terhadap rakyat untuk memperkaya diri--suatu pembiaran praktik busuk yang dilakukan oleh para oknum aparat atau pejabat yang terkait. Pada tingkat tertentu, terjadi "pengabsahan" perilaku seperti ini lantaran dianggap tidak merugikan uang negara alias bukan kategori korupsi.

Proses-proses permafiaan dan atau percaloan CPNS--termasuk aparat penegak hukum--seperti itu umumnya terjadi di daerah-daerah otonom dan atau instansi vertikal tertentu, termasuk di jajaran penegak hukum di daerah. Pada tingkat tertentu, memang, di tingkat nasional sudah lebih menerapkan prinsip-prinsip yang rasional, direkrut berdasarkan standar kemampuan sesuai dengan bidangnya. Bahkan instansi seperti Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan sudah menggunakan rekrutmen melalui online system atau cara-cara yang lebih canggih sehingga kemungkinan terjadinya permainan kotor tentu akan sangat kecil.

Kecenderungan seperti itu, tampaknya, dimulai sejak perencanaan kepegawaian. Biasanya dilakukan melalui tawar-menawar formasi antara instansi yang akan menerima pegawai dengan pihak penentu kebijakan kepegawaian di level nasional, yakni Kementerian Negara PAN dan BKN. Konon, dalam proses-proses itu pula pihak instansi yang akan merekrut CPNS meyakinkan pihak oknum pejabat penentu kebijakan kepegawaian itu dengan cara-cara transaksional. Oleh karena itulah, kerap kuota formasi CPNS jauh dari pertimbangan rasional. Diharapkan jatah yang diperoleh sebanyak mungkin karena dengan cara itu bisa memperoleh "pemasukan" signifikan dari para pelamar atau calon CPNS.

Memeras Rakyat

Setidaknya terdapat beberapa faktor sehingga praktik yang tidak terpuji itu terjadi dan cenderung terus berlangsung. Pertama, karena disadari kesulitan lapangan kerja di tengah pertumbuhan angkatan kerja yang besar. Umumnya para angkatan kerja keluaran pendidikan formal-- terutama di daerah-daerah otonom di mana pertumbuhan lapangan kerja sektor swasta sangat lambat, terbatas, bahkan tidak tersedia-- lebih berlomba untuk bekerja di sektor pemerintah.

Apalagi setelah menyaksikan kenyataan begitu banyaknya aparat pemerintah yang hidupnya mewah meskipun pendapatan resminya sangat kecil. Tepatnya, menjadi aparat pemerintah (negara) bukan sekadar untuk mendapat pekerjaan, melainkan juga untuk pengejaran status sosial ekonomi yang dianggap terhormat atau dihargai karena bisa hidup kaya dan mapan. Maka banyak orang tua pun kemudian menginginkan agar anaknya bisa jadi aparat abdi negara sehingga mau berkorban materi berapa pun asalkan anaknya bisa masuk sebagai abdi negara.

Agaknya, kondisi kejiwaan masyarakat seperti itulah yang dieksploitasi oleh kalangan oknum aparat atau pejabat yang terkait. Kedua, kewenangan yang tidak terkontrol dari (pimpinan) instansi pemerintah tertentu. Para pejabat di daerah otonom, misalnya, memanfaatkan otoritas yang diberikan untuk melakukan apa saja yang menguntungkan bagi mereka. Demikian juga instansi vertikal seperti jajaran kepolisian dan TNI yang proses rekrutmen aparatnya mulai dari daerah di mana pimpinannya sangat dominan dalam pengambilan suatu kebijakan.

Maklum, kepemimpinan dalam birokrasi pemerintahan kita sebenarnya berwatak otoriter dalam upaya mengamankan praktik busuk di tengah tiadanya mekanisme yang bisa menjamin kesaksian dari dalam dari figur-figur aparat yang tergolong the islands of integrity. Pada saat yang sama, peran lembaga pengawasan sangat lemah. Kalangan pers dan aktivis sosial (LSM) di tingkat lokal bisa atau cenderung dibungkam. Soalnya sebagian dari mereka hanya merupakan aktivis temporer yang nirideologi, mudah dibeli dengan materi. Kekuatan pers tidak mempan, apalagi kalau hanya berskala lokal di mana para pihak berwenang yang sudah larut dalam praktik kotor sangat tidak peduli dengan semua pemberitaan pers tentang fakta-fakta penyimpangan di daerah.

Apalagi, pada banyak kasus, kalangan insan pers justru berkolaborasi dengan pihak kekuasaan dan atau pejabat penegak hukum yang korup. Ketiga, pihak pemerintah nasional yang terkait jarang (untuk tidak dikatakan "tidak ada") yang mau peduli dengan kondisi birokrasi daerah yang karut-marut dan kotor itu. Setelah memberi kuota CPNS dan atau calon aparat yang akan direkrut daerah, urusan dianggap selesai. Alasannya: sudah menjadi kewenangan dan tugas daerah untuk menyelesaikannya. Pihak pemerintah nasional hanya akan menerima atau menyetujui hasilnya.

Kenyataan seperti itu sungguh memprihatinkan. Pihak pejabat terkait di level nasional tampaknya tutup mata dengan praktik-praktik buruk dalam proses rekrutmen aparat di dan dari daerah itu. Dengan demikian kian kuat kecurigaan: pejabat terkait di level nasional juga turut memperoleh keuntungan materi dalam proses-proses rekrutmen aparat di dan dari daerah yang berwatak transaksional itu.

Konsekuensi

Kondisi seperti yang digambarkan di atas sungguh-sungguh berimplikasi negatif terhadap moralitas pengelolaan birokrasi pemerintahan di negeri ini. Pertama, pendekatan dalam rekrutmen birokrasi lebih menonjol aspek kuantitatif, mengesampingkan faktor kualitas. Jumlah PNS yang tersedia semakin banyak, dengan tingkat produktivitas yang rendah. Mereka-mereka itu hanya mengisi ruang yang tersedia di kantor atau instansi tempat kerja dengan hanya "menghitung jam kantor dan hari kerja sebulan".

Kedua, praktik korupsi dan atau penyalahgunaan jabatan di dalam lingkungan birokrasi akan tetap dianggap sah-sah saja oleh para pelakunya. Soalnya, mereka sudah berkorban materi untuk memperoleh status sebagai aparat pemerintahan, yang akan dicari kompensasinya pada saat jadi aparat atau pejabat. Maka tidak perlu heran kalau praktik korupsi dan permafiaan di lingkungan birokrasi kita sulit untuk diberantas. Lalu apakah pemerintah nasional hanya akan tinggal diam dengan kecenderungan seperti ini? Saya kira sudah saatnya bertindak.

Pihak Kementerian Negara PAN dan Depdagri, termasuk jajaran kepolisian dan TNI, sudah harus bertindak dan membuktikan keberpihakan terhadap penciptaan birokrasi yang bersih dimulai dengan rekrutmen penerimaan aparat pemerintah/negara. Bukan sekadar ngomong dan menanggapi informasi secara retorik. Apalagi agenda 100 hari pertama pemerintahan Presiden SBY periode keduanya ini sejalan dengan itu, yakni penegakan hukum dan pemberantasan permafiaan.(*)
*Artikel ini pendapat pribadi

Laode Ida
Sosiolog, Wakil Ketua DPD RI

Opini Okezone 10 Desember 2009

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

125x125= Rp. 35.000/month

www.smartbacklink.net/ www.smartbacklink.net/